Maintenence
Dapatkan Ke PC

Monday, December 11, 2017

Pengertian Filsafat dan Objeknya - Filsafat Islam 1

Dalam Pengertian atau Pembicaraan tentang Filsafat dan Objeknya atau Filsafat islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat umum. Berpikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambungan di seluruh jagad raya ini. Akan tetapi, berfikir filsafat dalam arti berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filososf-filosof Yunani. Oleh karena itu, sebelum kita memperkenalkan filsafat islam secara khusus, ada baiknya kita perkenalkan terlebih dahulu filsafat secara umum.

Pengertian filsafat dan objeknya dalam filsafat islam bagian pertama 1

Pengertian Filsafat dan Objeknya

Akal merupakan salah satu anugerah Allah Swt. yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.

Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia dan pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Manusia pertama diperoleh manusia melalui wahyu, sedangkan pengetahuan kedua diperoleh manusia melalui indra dan aka. Pengetahuan dalam bentuk kedua ini ada yang disebut dengan pengetahuan indra, pengetahuan ilmu (sains), dan pengetahuan filsafat, pengetahuan indra yaitu Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman sehari-sehari, seperti api panas, air membasahi, dan lain-lain. Sementara itu, pengetahuan ilmu adalah pengetahuan diperoleh melalui penyeledikan atau penelitian dengan menggunakan pendekatan ilmiah, seperti meneliti mengapa api panas dan apa unsur-unsur yang terdapat dalam api. Sementara itu, pengetahuan filsafat merupakan hasil proses berpikir dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh, dan mendasar, seperti pengetahuan tentang api, apa hakikat api, dan dari mana asal api. Jadi, pengetahuan filsafat adalah mencari hakikat sesuatu sampai ke dasar segala dasar atau sedalam-dalamnya. Ciri dasar dari segala dasar inilah yang membedakannya dengan ilmu atau sains. Hal ini disebutkan ilmu membatasi dirinya dengan pengalaman, sedangkan filsafat tidak demikian, bahkan filsafat menyelidiki sesuatu tanpa batas sampai ke akar-akarnya.

Filsafat adalah  kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni Philoshopia  dan Philosophis. Philo, berarti cinta (loving), sedangkan sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom). Jad, Filsafat secara sederhana berarti cinta pada pengtahuan atau kebijaksanaan Pengertian cinta yang dimaksudkan disini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar.

Kemudian, orang arab  memindahkan kata Yunani Philoshopia ke dalam bahasa arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa 'lala, fa 'lalah dan fi 'lal. karena itu, kata benda dari kata kerja falsafa Seharusnya falsafah dan filsafat. Dalam kamus Besar bahasa Indonesia kata ini terpakai dengan sebutan fisafat

Para penulis sejarah filsafat beramsumsi bahwa orang yang pertama menggunakan kata filsafat adalah Phytagoras (w.497 SM). Kata ini digunakannya sebagai reaksi terhadap orang yang menamakan dirinya ahli pengetahuan. Manusia, Menurutnya, walaupun akan menghabiskan semua umurnya. Oleh sebab itu, yang pantas bagi manusia ialah pecinta pengetahuan (filosof), sehingga terkenal ungkapannya:

"Saya tidaklah ahli pengetahuan, karena ahli pengetahuan itu khusus bagi Tuhan saja. Saya adalah filosof, yakni pencinta ilmu pengetahuan."

Akan tetapi, kata filsafat populer pemakaiannya sejak masa sekolah sokrates dan plato. Namun yang pasti, kata filsafat ini telah ada sejak masa filosof Yunani.

Dalam buku-buku atau referensi ditemukan berbagai definisi filsafat. Kergaman definisi ini menandakan luasnya lingkungan bahasa filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut terdapat keseragaman tujuan. oleh karena itu, secara simpel dapat dikatakan, filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).

Dari Uraian di atas dapat dilihat bahwa berpikir filsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal atau menyeluruh dan mendasar atau radikal. Berpikir rasional mutlak diperlukan dalam filsafat.  Rasional mengandung arti bahwa bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya secara logis. kalau diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah bagan yang berisi kesimpulan yang "diperoleh dari premise-premise". Sistematis juga termasuk juga ciri-ciri berpikir filsafat. Kegiatan filsafat bukanlah berpikir secara kebetulan akan tetapi, ia harus berdasarkan aturan-aturan penalaran atau logika. Pada dasarnya berpikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun suatu sistem pengethuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri.  Menyeluruh atau universal termasuk juga ciri atau karakteristik berpikir filsafat. Suatu sistem fillsafat harus bersifat komprehensif atau menyeluruh. Oleh karena itu, tidak ada satupun yang berada di luar jangkauannya. Seorang filosof dalam mencari kebenaran atau hakikat segala sesuatu, kebenaran atau hakikat ini harus dinyatakannya dalam bentuk umum atau komprehensif. Dengan kata lain, dalam berpikir filsafat tidak boleh ada satu sisi pun yang tertinggal, tetapi harus tercakup didalamnya secara keseluruhan. Begitu juga dengan ciri filsafat berikutnya, ialah mendasar atau radikal. Telah di sebutkan bahwa ilmu atau sains hanya mampu memberi penjelasan sebatas pengalaman atau kenyataan empiris, sedangkan berpikir filsafat lebih jauh dari itu, yakni akan sampai ke dasar segala dasar. Dengan demikian, tidak ada satu tapal batas pun atau suatu yang tahu bagi kegiatan berpikir filsafat.

Demikianlah beberapa karakteristik berpikir filsafat. akan tetapi, Jujun s. Suriasimantri menambahkan satu karakteristik lagi, yakni spekulaif. Penambahan ini dapat diterima, karena spekulatif adalah dasar ilmu pengetahuan. Agaknya ciri inilah yang menjadikan jurang pemisah antara pengetahuan filsafat dan pengetahuan sains. Spekulatif sebagai dasar bagi sains (ilmu) hanya bersifat sementara, yang kemudian harus dibuktikan secara empiris dengan menggunakan metode ilmu atau sains.

Kendatipun filsafat menjadikan spekulatif sebagai salah satu cirinya, namun bukan berarti ia berpikir hanya menebak-nebak atau menerka-nerka tanpa aturan. Akan tetapi, dalam analisis dan pembuktian filsafat akan dapat diketahui dan ditetakan mana spekulatif yang benar dan logi. Hal ini berarti, kebenaran berpikir filsafat hanya sepanjang kerangka filosofis dan belum tentu benar dalam kenyataan secara empiris. Sementara kebenaran hasil ilmub atau sains dikatakan konsensus dari seluruh ilmuwan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan hasil kajian ilmu atau sains harus dapat dikaji ulang atau diperiksa ulang oleh yang bersangkutan atau saintis lain dengan hasil yang sama. Jika tidak ditemukan hasil yang sama, penemuan seperti itu tidak dapat direkomendasikan oeh para saintis lain dan dipandang tidak pernah ada.

Adapun objek bahasan Filsafat terbagi menjadi tiga bahasan pokok:

1. al-Wujud atau ontologi.
2. al-Ma'rifat atau epistimologi.
3. al-Qayyim atau aksiologi.

Pembahasan ontologi mencakup hakikat segala yang ada (al-munjudat). Dalam dunia filsafat "yang mungkin ada" termasuk dalam pengertian "yang ada". Dengn kata lain, "yang mungkin ada" merupakan salah satu jenis "yang ada." Dan dia tidak dapat dimasukkkan ke dalam kelompok "yang tiada," yang berarti tidak ada atau dalam bahasa lain "mustahil ada".

Pada umunya bahasan "yang ada" (al-manjudat) terbagimenjadi dua bidang, yakni fisika dan metafisika. Bidang fisika mencakup tentang manusia, alam semesta, dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, baik benda hidup maupun benda mati. Sementara bidang metafisika membahas ketuhanan dan masalh yang imateri.

Pembahasan epistimologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan yang dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama yang disebut dengan realisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.

Sementara ini, teori kedua yang disebut dengan idealisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. Berbeda dengan realisme, pengetahuan menurut teori idealisme ini berarti tidak mengambarkan kebenaran yang sebenarnya karena, menurutnya, pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adalah mustahil.

Pembicaraan tentang metode-metode untuk memperoleh pengetahuan ada dua teori pula. Teori pertama yang disebut dengan empirisme berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindra. Alat utama inilah yang memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata. Kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia yang kemudian menyusun, dan mengaturnya menjadi pengetahuan. Sementara itu, teori kedua disebut dengan rasionalisme berpandangan bahwa pengetahauna diperoleh dengan perantara akal. Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata ini dibutuhkan sekali akal. Andaikan bersandar pada pancainra semata, manusia tidak akan mempu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagada raya ini. Jadi, apa Allah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dangan pengetahuan.

Akan tetapi, dalam ajaran agama wahyu, pengetahuan dapat diperoleh melalui wahyu. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindra dan akal bersifat relatif.

Pembahasan aksiologi bersangkutan dengan hakikat nilai. Dalam menentukan hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalam filsafat etika atau akhlak. Dalam menentukan hakikat atau ukuran benar dan salah dibahas dalam filsafat logika atau mantiq. Dalam menentukan hakikat atau ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam filsafat estetika atau jamal.

Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A

No comments:

Post a Comment